Perkembangan Syari’at Pada Masa Keagungan Sahabat
Dalam Tahun 11 Sampai Dengan 40 Hijriyah
Setelah Rosulullah wafat kemudian kehalifahan digantikan oleh Abu Bakar As-Syidiq r.a, pada masa itu terjadi kemunduran yang besar pada masyarakat islam, sehingga kekuasaan Abu Bakar dan kekuatan iman yang terpatri dalam hati sahabat muhajirin dan anshor menjadi salah satu kekuatan tiang islam. Kemudian Abu Bakar mempersiapkan bala bantuan untuk memperkuat pertahanan dan sebagai sarana untuk menyatukan persatuan kaum arab. Setelah sempurnanya persatuan maka Abu Bakar mengutus pasukan perang untuk memasuki wilayah Irak dan Syam untuk mempeluas agama islam dibawah kerajaan Harsyiah dan Rumiyah. Abu Bakar wafat sebagai perintis usahanya dan sebelum menikmati buah dari usahanya dan selalu dikenang sebagai akhir yang baik.
Kemudian datang kepemimpinan Umar Bin Khotob sebagai pangganti Abu Bakar, yang kemudian menyempurnakan kekusaannya untuk memperluas kekuasaan orang muslim di wilayah bagian timur dibawah kerajaan-kerajaan Persia yang besar, hingga sampai wilayah sungai Jaikhun(amudariya). Dan sampai pada dua bangsa yang besar yaitu negara Suria dan negara Armania. Untuk wilayah barat di negara Mesir dibangunnya kota-kota islami yang besar seperti kota Fustoh, kota Kufah dan juga kota Basroh dan disana juga bermukim para sohabat-sohabat besar sehingga para penduduk selain bangsa Arab yang berada diwilayah tersebut masuk agama islam dibawah bimbingan para sahabat.
Kemudian pada zaman kepemimpinan Usman Bin ‘Afan, semakin terbukanya wilayah bagian timur dan juga wilayah bagian barat sehingga seolah-olah telah sempurna untuk sebuah kekuasaan muslimin yang sangat besar. Pada masa itu timbulah musibah yang sangat besar, yaitu pemberontakan yang melawan amirul mukminin Usman Bin ‘Afan r.a. Awal pemberontakan dimulai dari pembentukan golongan orang yang tidak menyukai Usman bin Afan yang berasal dari tiga kota besar dalam kota Madinah.
Sebab dari pemberontakan tersebut adalah karena adanya perpecahan dari kaum muslim yang dibedakan menjadi dua golongan. Golongan yang pertama adalah golongan yang membenci kepemimpinan Usman bin ‘Afan yaitu golongan yang bi’at dibawah ‘Ali Bin Abi Tholib, dan golongan yang kedua adalah orang yang dibenci atas sebab-sebab kematiannya Ali Bin Abi Tholib, mereka adalah golongan yang mengikut Mu’awiyah Bin Abi Sofyan rodhiallahu ‘anhuma.
Golongan yang pertama menempati wilayah ibukota Iraq dan golongan yang kedua menempati wilayah Damaskus yag menjadi ibukota negara Syam. Yang kemudian dua golongan tersebut saling perang dan perang yang besar didaerah Sahl Sifiin. Sedangkan dua golongan yang perang adalah orang-orang baik yang pilihan dari kaum muslimin pada masa itu, dan peperangan-pun tidak akan berhenti sampai dimenengkan oleh salah satu golongan. Golongan yang menang pada masa itu adalah golongan Mu’awiyah, sedangkan golongan ‘Ali menerima kekalahan. Sebab kekalahan golongan ‘Ali adalah semakin banyaknya pemberontakan yang tidak menyetujui hukum-hukumnya sehingga ‘Ali pun terpaut akan masalah itu, sehingga semakin banyaknya kekuatan golongan Mu’awiyah mampu menggulingkan kepemimpinan golongan ‘Ali.
Diceritakan bahwa orang yang membangkang atas hukum ‘Ali disebabkan karena pada saat kepemimpinan Usman Bin Afan terjadi politik nepotisme yang besar, yaitu pengankatan seluruh pegawai kerajaan atas keluarganya sendiri, sedangkan pada kepempinan ‘Ali, para pejabat tersebut diturunkan semua sehingga
muncul ketidak ridhoan dari para mantan pejabat keluarga Usman atas kepemimpinan ‘Ali.
Setelah selesai masa kepemimpinan Khulafa’ur Rhosyidin dan pecahnya tiga golongan muslimin yang besar, yang berbeda pendapat atas model poitiknya. Dan mereka merupakan penerus kepemimpinan umat islam selanjutnya, mereka adalah :
1. Kepemimpinan pertama oleh sebagian besar golongan muslimun, mereka adalah golongan yang ridho atas Mu’awiyah dan kepemimpinannya.
2. Kepemimpinan Syi’ah yaitu mereka yang cinta terhadap ‘Ali dan keluarga ‘Ali.
3. Kepemimpinan Khowarij, yaitu golongan yang membenci kepemimpinan Usman dan Mu’awiyah.
KITAB DAN SUNAH PADA ZAMAN KE-DUA
Kitab Al-qur’an pada zaman ke-dua
Turunnya wahyu Al-Qur’an adalah secara bagian per bagian, secara terperinci sedikit demi sedikit. Dan setiap diturunkan wahyu, maka Rosulullah menyuruh sebagian dari juru tulisnya untuk menulis ayat tersebut, sebagian besar para shohabat menulis wahyu tersebut dan sebagian lagi merasa cukup untuk menghafalnya. Rosulullah memberikan pelajaran Al-Qur’an kepada para shohabtnya secara berurutan ayat demi ayat dan surat demi surat. Pada masa peninggalan Rosulullah belum adanya pembukauan pada Al-Qur’an, melainkan ayat ayat Qur’an tersimpan dalam hati para shohabat yang menghafalkannya dan juga tersimpan sebagai shuhuf (tulisan-tulisan yang terpisah). Disebutkan pada masa itu shohabat yang menghafal Qur’an sangatlah banyak dan banyak diantara mereka hafal secara menyeluruh pada Al-Qur’an(Hafidz).
Pada masa kepemimpinan Abu Bakar As-Shidiq ada keinginan untuk membukukan Al-Qur-an menjadi satu kitab yang utuh. Karena pada masa itu terjadi peperangan yang mengakibatkan wafatnya shohabat yang hufadz dalam jumlah yang besar, sehingga timbulnay kekhawatiran Abu Bakar atas Al-Qur’an.
Diriwayatkan dari Al-Bukhori di kitab sohihnya, “dari Zait bin Tsabit berkata :’aku diutus pada saat perang yamamah oleh Abu-Bakar. Pada saat itu Umar bin Khotob berada disamping Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar berkata : ‘sesungguhnya Umar datang kepadaku’, kemudian Umar berkata :’Para pembunuh pada saat perang yamamah datang pada waktu sahur dan mereka membunuh para ahli alqur’an. Dan saya takut apabila meraka datang pada waktu sahur lagi untuk membunuh para ahli alqur’an sehingga akan hilang sebagian dari alqur’an. Dan saya berpendapat agar kamu memberikan perintah untuk mengumpulkan alqur’an’. Kemudian aku(Abu Bakar) berkata kepada Umar:’Apakah kamu menyuruhku melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rosulullah(yaitu mengumpulkan dan membukukan alqur’an)’. Umar berkata ;’Sedangkan itu adalah yang terbaik’. Sehingga tidak henti-henti Umar musyawaroh denganku(Abu Bakar) sehingga dadaku menjadi luas(menyetujui dengan kelapangan hati) untuk mengumpulakan dan membukukan alqur’an’. Dan aku(Zait bin Tsabit) faham bahwa konsep membukukan alqur’an tersebut adalah dari pendapat Umar bin Khotob”. Kemudian Zait bin Tsabit berkata :”kemudian Abu Bakar berkata kepadaku,’sesungguhnya kamu(Zait bin Tsabit) adalah pemuda yang pandai dan aku tidak pernah mempunyai pendapat yang buruk atas dirimu dan sesungguhnya kamu adalah juru tulis yang menulis wahyu dari Rosulullah, maka tekunilah alqur’an dan bukukanlah alqur’an”. Maka demi Allah(Zait bin Tsabit bersumpah) apabila ada orang yang meragukanku, lebih baik aku memindahkan gunung dari suatu tempat ketempat lain karena perintah membukukan alqur’an lebih berat bagiku dari pada memindahkan gunung. kemudian aku bertanya:”Bagaimana kalian semua akan berbuat sesuata yang mana Rosulullah tidak pernah melakukannya ?”. Abu Bakar berkata:”demi Allah hal itu adalah sesuatu yang lebih baik”. Dan tak henti-hentinya Abu Bakar bermusyawarah kepadaku hingga akhirnya dadaku dilapangkan oleh Allah. Maka selanjutnya aku meninjau Al-Qur’an dengan mengumpulkan wahyu-wahyu alqur’an pada pelepah kurma dan beberapa batu putih yang tipis hingga sampai akhir surat At-Taubah yang ku kerjakan bersama Abi Huzaimah Al-Anshori yang aku tidak menemukan dari surah At-Taaubah pada ayat(Laqod jaa akum rhosuulun) kecuali pada dia. Hingga sampai akhir pada ayat Baro atan jadilah satu suhuf dibawah Abu Bakar, hingga Abu Bakar meninggal. Kemudian dibawah masa Umar kemudian pada Hafsoh binti Umar bin Kotib”.
(dari penulis: insyaallah maksud diatas adalah pada masa Abu Bakar suhuf yang telah diselesaikan sampai pada surah At-taubah, kemudian pembukan dilanjutkan lagi pada masa kepemimpinan Umar dan kemudian pada Hafsoh binti Umar bin Khotob).
Diriwayatkan dari Suyuti dalam kitabnya Al-Itqon : “Harits Al-Muhasibiy berkata dalam kitabnya Harits Al-muhasibiy:’ Sebenarnya membukukan Qur’an bukan merupakan perkara yang dibarukan(muhadits/ bit’ah) karena sebelumnya Rosulullah juga memberikan perintah untuk menulis wahyu, hanya saja wahyu yang tertulis berupa lembaran-lembaran yang terpisah-pisah atau pada papan-papan yang terpisah-pisah. Sedangkan perintah amirul mukminin Abu Bakar As-Sidiq adalah untuk menyalin tulisan tersebut dari suatu media ke-media lain sehingga terkumpul dalam satu media yang tunggal. Awalnya media untuk menulis wahyu tersebut adalah berupa kertas yang terdapat pada bait Rosulullah yang didalamnya berisi tulisan qur’an yang terpisah-pisah kemudian dikumpulkan menjadi satu oleh tukang yang mengumpulkan dan ditaliakan digantung menjadi satu sehingga tidak akan hilang satu bagianpun.
Meskipun Zait bin Tsabit merupakan salah satu orang yang hafal Al-Qur’an dan orang yang ahli menulis wahyu, tetapi dia tidak merasa cukup untuk membukukan Al-qur’an dengan hafalannya sendiri, beliau juga mengumpulkan beberapa hafalannya para hafidz dan beberapa tulisannya ahli tulis yang lain untuk dijadikan satu (sebagai koreksi kesempurnaan) dan juga beberapa tulisan-tulisan yang berada pada bait nabi.
Zait bin Tsabit menyempurnakan tulisannya ditengah-tengah kumpulan orang muhajirin dan anshor. Dan sebab usaha Abu Bakar dan juga Umar Allah menyempurnakan pembukuan Al-Qur’an dan Allah sendiri yang menanggung kesuciannya, dengan wahyunya(inna nahnu nazalnadzikro wa inna lahuu lahaafidzuun).
Hingga jadi sempurnalah suhuf-suhuf yang telah dibukukan tersebut dan tetap terjaga sama seperti kondisi awalnya pada masa khalifah Abu Bakar, kemudian Umar kemudian Hafshoh binti Umar. Pada zaman kekhalifahan Usman bin Afan munculah keinginan sebagai kewjiban untuk menyebarkan suhuf-suhuf tersebut ke beberapa kota besar islam.
Salah satu alasan Umar untuk menyebar luaskan suhuf-suhuf tersebut karena banyaknya hafidz qur’an yang tersebar keseluruh penjuru negeri, dan diantara mereka ada perbedaan pendapat karena beberapa huruf yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan logat bahasa (seperti yang kita ketahui berbedaan logat akan menggeser beberapa cara bahasa dan pendengaran, sehingga semakin seringnya perpindahan logat bahasa akan ada beberapa huruf yang tergeser dan berbeda dari huruf yang awal). Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka amirul mukminin Usman bin Afan menarik semua suhuf-suhuf yang tersebar keseluruh penjuru negeri untuk dibakar dan diganti dengan suhuf yang telah terstandarisasi guna membuang semua perbedaan suhuf-suhuf awal sehingga semua suhuf yang tersebar merupakan satu jenis suhuf yang sama dan benar.
Diriwayatkan oleh Buhori,”Dari Anas:’Sesungguhnya Hudaifah bin Yaman datang kepada Usman bin Afan dan pada saat itu Hudifah beperang dengan ahli Syam untuk membuka kota Armania dan Adribaijan beserta ahli Irak. Maka Hudaifah terkejut setelah mendengar berbedaan bacaan Qur’an ahli Syam, kemudian Hudaifah melaporkan hal tersebut kepada Usman bin Afan. Usman berkata :”berangkatlah kamu kepada kaum tersebut sebelum terjadi perbedaan(pada Al-qur’an) seperti perbedaan yang ada pada kaum yahudi dan nasrani. Kemudia Usman memberi utusan kepada Hafsoh untuk mengirimkan mushafnya untuk dipinjam guna disalin, dan setelah selesai disalin disuruh untuk segera mengembalikan kepada Hafsoh lagi. kemudian Umar mengutus Zait bin Tsabit, ‘Abdullah bin Zabir, Sa’id bin ‘Aash, dan ‘Abdurahman Ibni Harits bin Hisyam untuk menyalin mushaf Hafhoh tersebut. Umar berkata kepada tiga orang dari Qurosyiyiin tersebut(‘Abdullah bin Zabir sampai akhir), “Apabila ada perbedaan pendapat antara kalian dengan Zait bin Tsabit sewaktu menyalin mushaf, maka tulislah mushaf dari logatnya orang Quraisy, karena sesungguhnya Qur’an diturunkan dari lisannya orang Quraisy. Maka mulailah mereka semua menyalin Al-Qur’an hingga mereka selesai. Setelah selesai disalin kemudian Usman mengembalikan mushafnya kedapa Hafsoh, dan kemudian diutuslah untuk semua penjuru islam untuk menggunakan mushaf yang mana telah disalin dan memerintahkan suntuk menyamakan semua mushaf dengan Qur’an(dengan mushafnya Hafshoh). Dan memerintahkan untuk menarik semua mushaf yang tidak sesuai dengan qur’an untuk dikumpulkan dan dibakar(hal ini bukti ketegasan amirul mukminin dalam menjaga kesucian qur’an), masa itu terjadi pada tahun 50 setelah hijriah”.
Kitab yang telah sesuai dengan qur’an tersebut selanjutnya dikirim ke negeri Kufah, Bashroh, Dimaskus, Mekah dan Madinah untuk diletakan didalam masjid jami’ kota besar tersebut sebagai referensi untuk pengajaran, pembacaan dan penghafalan qur’an. Sedangkan Usman bin afan sendiri juga menggunakan salah satu qur’an untuk dirinya dan disebut qur’an tersebut dengan dengan mushaf imam.
Sunah qouliyah pada zaman ke-dua
Sedangkan cara Shohabat dan tabi’in dalam menykapi sunah qouliyah pada zaman kedua akan digambarkan dari beberapa hadits dibawah ini :
Hadits pertama :
Khafidz Adzahabi menulis dalam kitabnya: Diriwayatkan dari Syu’bah dan lainnya, dari bayani Sya’biy dari Qurodloh bin Ka’ab berkata:”Sewaktu kita melakukan perjalanan dengan Umar menuju Irak, Umar berjalan kaki beserta kita kemuian Umar berkata :’Apakah kalian mengerti mengapa aku mendampingi perjalanan kalian ?’. orang-orang yang berada disampingnya berkata :’Iya, kita akan dimulyakan’. Umar berkata :’Karena hal tersebut kamu akan menjumpai ahli daerah yang mana mereka akan membaca qur’an seperti gemuruh, seperti suaranya lebah, maka janganlah kalian mencegah mereka dengan beberapa hadits karena kamu hanya akan terpaut dengan masalah tersebut. (lebih baik kalian memperbaiki bacaan qur’an kalian semua dan mempersedikit membicarakan haditz dari Rosulullah, dan aku adalah orang yang akan menyertaimu’. Maka setelah Qurodloh datang ke ahli daerah, ahli daerah berkata:’ ajarilah kepada kami beberapa haditz’. Kemudian Qurodloh berkata:’Umar mencegah saya untuk berbicara tentang hadits’.”.
(pen: dari hadits yang diriwayatkan Syu’bah diatas terlihat jelas bagaiana Amirul Mukminin Umar bin khotob dalam menyikapi hadits Rosulullah, sikap beliau yang menjaga nilai kebesaran hadits agar tidak sebarangan diucapkan oleh sembarangan orang. Hadits merupakan sumber dari hukum-hukum islam sehingga, tidaklah patut untuk menggunakan hadits sebagai bahan pembicaraan, apalagi untuk mujadalah yang hanya berniat untuk menunjukan kualitas diri dalam memahami hadits. Sangatlah disayangkan orang yang hafal hadits kemudian dia menggunakannya untuk berbicara dan menguat-nguatkan argumennya, seperti yang ada pada ‘ulama sekarang yang dengan merasa bebas mereka berbicara dengan hadits didepan orang banyak, malah terjadang diacara televisi, sedangkan dia tidak memperhatikan siapa orang yang akan mendengarkan pembicaraannya tersebut, karena terkadang orang yang mendengarkan adalah orang yang akan memandang rendah agama kita.
Sangat berbeda juah dangan ulama’-ulama’ salaf yang dengan hati-hati dalam menyampaikan hadits, seperti Sufyanu Tsauri salah satu ulama besar yang tidak sembarangan berbicara dengan hadits karena sikap mengagungkan hadits, terkadang dari mereka sangat rendah hati merasa kurang pantas menyampaikan hadits ke banyak orang, padahal mereka adalah ulama’ besar ahli hadits, ahli ijtihad, ahli wira’i. Kebanyakan mereka hanya membacakan hadits didepan muridnya saja.
Umumnya ulama sekarang menggunakan satu dasar yang jelas tetapi kurang memandang dari beberapa sudut pandang lain dan kurang menengok bagaiman metode ulama-ulama besar sebelum mereka dalam menyampaikan ilmu islam dan menegakan amar ma’ruf nahi munkar. Seperti yang kita ketahui perintah menyampaikan ilmu islam walaupun satu huruf merupakan perbuatan yang sangat mulia, akan tetapi juga harus diperhatikan siapa sasaran yang akan menerima pelajaran yang disampaikan. Jangan gampang-gampang memberikan hadits kepada orang lain, apalagi mereka bukan murid yang memang berniat untuk belajar, lebih jelasnya bila kita melihat Kitab Tanbihul Mugtarin yang mana seorang murid yang akan belejar, terlebih dahulu dia mengabdi kepada sang guru dalam waktu beberapa tahun, selama sang guru masih mencoba mengamalkan dulu apa yang akan diajarkan kepada sang murid.)
Hadits kedua :
Diriwayatkan dari Darowardi, dari Muhammad bin Umar, dari Abi Salamah, dari Abu Hurairoh:” Aku bertanya kepada Abu Huroiroh :’ apakah kamu pernah berbicara hadits ini dan ini pada zaman Umar bin Khotob ?’ Abu hurairoh menjawab :’ apabila aku berbicara hadits pada zaman Umar seperti hadits yang kamu bicarakan saat ini, maka Umar akan memukulku dengan cemetinya’.”
Hadits ketiga :
Diriwayatkan dari Ibni ‘Aliyah, dari Roja’ bin Abi Salamah berkata : “Sesungguhnya Mu’awiyah berkata ‘Jagalah kamu dalam hal membicarakan hadits seperti pada zamannya Umar bon Khotob, karena sesungguhnya Umar adalah orang yang sangat ditakuti orang dalam hal berbicara dengan hadits Rosul”.
Sekiranya tiga hadits telah dirasa cukup untuk mengetehui bagaimana para A.Imatal Muslimin wa Qodatuhum pada masa itu dalam hal menyikapi Sunnatu Rosul, hal ini karena adanya rasa khawatir adanya kedustaan yang menyebar keseluruh penjuru muslimin yang mengatasnamakan hadits rosul dan juga kekhawatiran adanya kesalahan atas rosulullah. Sehingga pada zaman itu ditetapkan untuk menyertakan rowi hadits (orang yang meriwayatkan hadits), itulah mengapa Ali bin Abbitholib menyumpah orang yang meriwayatkan hadits dan memberikan ketetapan dan hukuman sehingga ditemukan hadits yang benar-benar sesuai dari rosulullah dan tidak ada perselisihan didalamnya. Aturan tersebut mengakibatkan semakin sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits.
Ahli Ijtihad pada zaman kedua
Ijtihad adalah menggunkan seluruh kemampuan akal dan fikiran untuk mengeluarkan dalil hukum syari’at yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah. Yang terbagi menjadi dua bagian :
Bagian awal : Sumber hukum diambil dari dalil Nash yang thohir. Ini bisa diambil bila tempatnya hukum didapati dalam dalil Nash.
Kedua : Sumber hukum diambil dari pemikiran akal yang disesuaikan dengan dalil Nash, atau dengan mengambil ‘ilah dari suatu dalil Nash, dan mengambil ‘ilah permasalahan yang terjadi, kemudian menyesuaikan ‘ilah permasaahan tersebut dengan ‘ilah dalil Nash yang diambil. Hal ini terjadi apabila perkara yang dihukumi merupakan perkara baru yang tidak tertulis dalam dalil Nash. Istilah pengambilan hukum ini disebut sebagai Qiyash.